Setan. Keretaapi itu kesetanan. Menembus kota-kota dan hutan tanpa permisi. Begitu keluar Gambir seperti tak mau menambah penumpang. Sekali berhenti di Balapan, itu pun cuma menurunkan penumpang. “Dari Surabaya Gubeng terus mau kemana, Mbak?” lelaki muda di sebelah Lina ini bertingkah lagi. “Ooo, mungkin saya nggak turun Surabaya.” “Lho, nggak jadi?” “Memang nggak turun sana,” senyum kirinya tipis saja. “Tapi Kertosono, cukup? Saya perlu istirahat, maaf.” “Sudah Saradan, sebentar lagi...” Lina tak mau menanggapi lelaki itu lagi. Ia tahu, mungkin lelaki ini seumur dengannya dan dia cukup hafal tingkah lelaki macam ini. Selalu jadi kelihatan kekanakan, cetus pikiran Lina sendiri. Jelas beda dari Mas Imam, pikir Lina. Suaminya itu benar-benar sabar menghadapinya. Kesabaran yang datang bukan karena mau sok tebar pesona atau karena menahan diri. Mas Imam sabar karena memang sabar dan tahu benar masalah yang dihadapinya, batin Lina membanggakan suaminya. Pernikahan kami pun bisa menjadi contoh, kalau mau disebutkan bisik Lina dalam mimpinya, dalam keadaan serba tak menentu Mas Imam melamarku. Waktu itu Lina sendiri sedang bingung, saat melamar pekerjaan baru sebagai teman ngobrol tamu-tamu. Keadaan makin menjepit, pekerjaan baru belum didapat, masih pula harus menghidupi anaknya yang berdarah campuran. Belum lagi soal beda agama antara ia dengan anak perempuannya dan Mas Imamnya itu. “Kalau Mbak Lina belum siap pakai cara saya, soal itu bisa kita pikirkan sama-sama nanti. Sementara kita jalani cara kita sendiri-sendiri. Itu lebih baik daripada terpaksa....” Lina cuma senyum-senyum sendiri menanggap lamaran Imam waktu itu. Tak mungkin juga menampik lamaran itu dengan kasar di meja tempat hiburan begitu, bisa-bisa ia terkena kartu merah dari bosnya yang mulai bangkrut dan banyak mengurangi karyawan itu. Tapi kata orang berkahnya makanan itu memang datang dari suapan terakhir, dan Lina mendapatkannya waktu itu. Berkat yang sering membuat Lina bisa senyum-senyum sendiri. Seperti kali ini, saat Lina ingat kesabaran lain suaminya itu. “Kenapa mendadak begini? Telpon ke kantor cuma mau bilang soal mingat. Itu kan bikin panik, Bu...” ujar Imam di depan pintu kamar, setelah tergopoh-gopoh pulang dari kantor. “Biar. Biar Mas tahu kalau aku nggak suka digombali. Obral janji terus soal pulang kampung. Tapi mana buktinya?” “Ya, sabar sedikit laah. Kita kan belum punya cukup bekal buat pulang. Apalagi katamu, Bapak orangnya galak. Ya kan?” “Nggak pakai nggoda-nggoda. Nggak pakai senyam-senyum. Pokoknya aku mau pulang. Masak lima tahun di kota nggak pernah pulang sekali pun. Bekal kita sudah cukup, hidup kita di sini jauh lebih bagus dari orang rumahku,” tangannya terus memasukkan beberapa potong pakaian dalam kopor. “Bekal kan bukan cuma uang dan barang, Buu...” Imam duduk lemas di bibir ranjang. Wajahnya tertunduk dalam-dalam. “Ya, sudah. Kalau mau nekat berangkat, kita tunggu Mei dulu. Sudah bawa uang belum. Kalau kurang bilang, lho. Aku belum bisa ikut pulang, pekerjaan numpuk di kantor menjelang tutup tahun begini, maaf ya?” “Sudah, sudah. Uangku sudah cukup buat pulang balik, sekalian buat orang rumah nanti. Dan Mei, dia musti ikut pulang nengok Eyangnya. Dia juga pasti sudah kangen sama mereka,” ambil tas jinjing, tempat untuk menaruh macam-macam perhiasan dagangannya. “Kalau bisa jangan semuanya ditaruh situ, Bu...” “Aku ya nggak sebodo itu, ya. Semuanya sudah aku bagi-bagi tempatnya. Memangnya, cuma kamu saja yang pinter mbagi-mbagi duit,” mondar-mandir sambil sesekali melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Gertakan minggat itu ternyata tidak membuat Mas Imam marah atau terpancing ikut mengantar pulang, Lina tersenyum lagi memikirkannya. Sekilas juga sempat terpikir buat membatalkan saja rencana konyolnya itu. Tapi.... “Itu Mei pulang.” “Bapaaak, lho, kok sudah pulang. Mbolos, ya?” Lina tersenyum masygul melihat anaknya begitu akrab dengan bapak tirinya. “Mei, ganti baju! Ikut Ibu’, pulang ke rumah Eyang.” “Lhoh, Ibu kok nggak bilang-bilng dulu? Mei kan belum libur...” “Kamu nggak kangen sama Yang Ti, Yang Kung, Mas Andre?!” “Ya kangen. Tapi...” “Nggak pakek tapi-tapian. Cepet ganti baju!” “Buu, kita kan belum tanya gimana maunya Mei. Sekarang, biar aku yang tanya....” Menyorongkan badan bertumpu pada lututnya. “Mei...Mei mau ikut Ibu’ atau tinggal di rumah dulu sampai liburan depan. Bapak janji nanti pulang bareng-bareng.” “Eee, nggak usah ngibuli anak kecil. Pakek ngrayu-ngrayu segala.” “Sss....” masih sempat senyum ke arah Lina. “Gimana Mei?” “Mei maunya ikut Ibu’. Tapi sekolahan kan belum libur....” “Apa susahnya ambil libur sendiri barang seminggu. Bapakmu bisa mintakan ijin nanti,” Lina mulai gusar. “Nggak. Mei ngak mau ketingalan pelajaran.” “Eee, dasar anak-bapak sama saja. Kalian sudah sekongkol, ya?! Ya, sudah. Aku berangkat sendiri. Huh!” Lina memburu langkahnya balik ke kamar. “Gimana Pak?” “Tenang, Mei. Ibumu selalu begitu kan, kalau lagi marah-marah?” Lina cuma mendengarkan sekilas sambil menyeret roda kopornya. Sampai di ruang tengah Lina melirik sepintas pada mereka. “Sebentar, Bu’. Kita antar sampai Gambir.” “Gak usah! Aku bisa sendiri!” Lina merasa harus menahan harga dirinya di depan persekongkolan anak dan bapak itu. Dan, sekarang Lina cuma bisa tersenyum kecut dalam mimpinya di atas kereta ini. Mustinya pagi ini dia bisa tidur tenang, di balik selimutnya yang hangat. “Mbak....Mbak....Maaf sudah sampai Kertosono itu.” “Oh-eh, ya.” Lina terbangun. “Mereka kan sudah tahu ada yang turun sini.” “Ya, ya....” masih menebar pesona lewat senyumnya. “Ada yang bisa saya bantu....” “Oh, nggak. Ma-kasih. Nggak berat, kok.” “Itu, kopernya?” “Oya,” Lina segera menyeret kopornya dan menarik perhatian lelaki murah senyum. “Turunnya?” Lina menghela nafas lagi. Genit sekali anak ini, pikir Lina. “Saya bisa panggil kuli stasiun, sebenarnya, tapi kalau mau ya sudahlah...silakan saja.” Musti dijelaskan, musti diluruskan otaknya, gerutu Lina pada diri sendiri. Lelaki itu pun menguntit Lina sampai pintu gerbong, membantunya menurunkan tas besar itu dan menjulurkan tangannya. “Roy....” cara yang manis dan jorok sekaligus. “Lina. Anak saya dua. Satu ikut suami pertama. Sulungnya ikut saya dan suami kedua. Terima-kasih bantuannya.” “Terima-kasih kenalannya. Moga-moga kita masih bisa ketemu lagi di kereta....” Lina tak suka bualan murahan. Menyeret kopornya dekat pintu keluar. Hari mulai terang, postir tak kesulitan memeriksa tiket Lina sekalipun tanpa lampu menyala. “Tidak ada yang ketingalan, Bu?” keramahan standar kota kecil. “Terima-kasih.” Lina menarik nafas dalam-dalam sambil terpejam. Segarnya udara kota-kota kecil. Sebentar lagi mesti naik becak. Sampai terminal ganti naik bis. “E, dayohe teka. E, beberna klasa. E, kopere bedhah. E....”1 “Kopere apa kemebene...?”2 Celoteh dan kelakar tukang-tukang becak itu membuat Lina ingat kopornya yang sedikit terbuka. Gara-gara Mas Imam sampai lupa muter kuncinya kemarin, keluh Lina sambil merapatkannya lagi. “Becak, Mbak?” “Terminal, Pak.” Lina sudah meloncat. Senyumnya mengembang, seperti mau bersalaman dengan u***** dan cakrawala. Tak ada dunia seramah ini, pikirannya bermain-main sendiri. Juga waktu dia sudah duduk di bangku bis antarkota yang apek. Terlalu lama kalau mau menunggu patas ke arah sana, Bu. Jawaban yang menjengkelkan Lina itu meluncur ringan dari mulut tak acuh petugas jaga terminal. Terpaksa begini. Berdesakan dengan bau kecoa dan keringat. Tapi Lina tak mau menyia-nyiakan senyumnya. Senyum terus sekalipun jantungnya berdenyaran keras. Bapak, ya Bapak. Wajahnya yang angker seperti apa sekarang. Setelah hampir lima belas tahun kepergiannya Lina hanya berani mengirim kabar lewat surat, wessel dan kartu ucapan. Lina hanya sesekali pulang dulu, waktu pernikahan pertamanya memberikan sedikit keberanian. Sampai sekarang Lina masih serba ewuh-pakewuh3 kalau musti pulang dan berhadapan dengan Bapak. Sekali pun Bapak sudah mau menerima anaknya, tapi tetap mencibiri pekerjaannya sebagai teman para tamu di klab malam. Masih saja terngiang ledakan kemarahan Bapak begitu mendengar kabar kalau Lina yang masih SMA waktu itu suka mencari tambahan uang saku di sekitar Jl. Daha. “Lina. Kamu ingat nama lengkapmu?” Bapak duduk di kursi kebesarannya yang terbuat dari bonggol kayu jati. Bertelekan tongkat kayu berukir naga setianya. “Paulina Arumanda Sukmaningtyas.....kamu tahu artinya, kan? Kok sekarang malah kamu bikin malu nama keluarga besarmu ini. Kamu dibesarkan Ibumu yang tekun berdo’a. Bapakmu ini bisa dibilang ndak kenal agama, kafir, tapi ndak pakek cara hina buat cari uang. Dengar?!” Lina cuma bisa diam, sekalipun bisa saja ia menjawab kalau waktu itu hanya membantu menjual handycraft buatan temannya. Menurutnya Bapak bukan orang yang suka dibantah, jadi ia lebih suka memilih diam. Ia ingat betul wajah setiap teman lelakinya yang kena semprot Bapak saat menjemputnya dari rumah. “...Karena Bapak menganggap kamu sudah berbuat di luar batas, maka lebih baik kamu tidak tinggal di rumah ini lagi,” Bapak dengan tongkat kebanggannya masih tegak di kursi kayu jati itu. “Dengan begitu mungkin kamu bisa mencari jalan sesukamu.” Mendengar keputusan Bapak, tak seorang pun berani membantah. Bahkan waktu Ibu mau mengajukan pendapatnya sudah lebih dulu terkena hardikan Bapak dan terpaksa undur sambil mengelus dada. Menangis sekeras-kerasnya, biar cuma dalam hatinya. Tapi Lina tahu. Ino dan Ion, dua adik Lina, juga tahu. Andre si bungsu mungkin juga menangis dengan wajahnya yang tetap tak mengerti dalam gendongan Ibu. Keluarga dalam rumah separuh dinding bambu itu tetap bertahan di tempat masing-masing, demi nama baik yang selalu diunggul-unggulkan oleh Bapak. Mereka diam dalam bisu saat Lina pergi tanpa permisi. Lina lari dan tak pernah kembali. Lari ke jalan-jalan. Pub dan restoran, Hotel dan penginapan, jadi medan jajahannya dari hari ke hari. Lina tak lagi menjajakan handycraft temannya. Lina sudah punya dagangan sendiri, dirinya sendiri. Total jenderal hampir sepuluh tahun malang melintang di dunia barunya itu. Sempat terputus saat menikahi Papanya Mei. Tapi pemuda keturunan itu pun tak bertahan di sisinya. Pernikahan itu tak bertahan. Hancur dengan ketetapan yang jelas buat Lina. Tak ada jalan lain kecuali menjadi penerima tamu. Sampai kemudian Imam datang dengan senyumnya yang rawan. “Ngadisimo. Simo?” Teriakan dari pintu belakang menyadarkan Lina. Buru-buru bangun dan bergegas. “Simo, Pak! Kiri, kiri!” “Simo, kiri, kiri!” Matahari belum bulat benar, tapi jalanan sudah ramai. Tukang becak, kenek-kenek angkutan pedesaan, pedagang sayur, warung-warung, dan pegawai Gudang Garam pulang atau berangkat kerja tumpah di Jl. Imam Bonjol ini. Lina naik becak lagi. Sedikit ke timur, selewat jembatan kecil itu becaknya berbelok ke kiri. Terus ke utara dan berhenti dekat tikungan berikutnya. Di tikungan itu Lina tercenung. Barusan ia berpikir-pikir soal Bapak, Ibu, dan adik-adiknya. Soal Mbak Mayang, setahu Lina, terakhir kabarnya sudah menikah dengan seorang guru agama sekaligus katekis. Mengenai adik-adiknya, Lina masih pikir-pikir, apakah mereka masih tekun berdoa. Atau mungkin mengambil jalan seperti Lina, larut dan kalah di jalanan. Sekarang Lina sendirian memperhatikan tempat angker di seberang jalannya itu. Jembatan kecil tempat dimana Bapak dulu biasa duduk, kini sudah tak ada lagi. Jembatan di atas got depan rumahnya itu kini sudah teruruk tanah bergunduk. Juga pagar bambu halaman rumah itu, sudah rata dengan tanah. Juga dinding rumahnya. Pohon mangga tempat sembunyi Lina sewaktu kecil itu pun tak tersisa selembar daun pun. Cuma sumur, bekas sumur, yang meranggas di tengah reruntuhan. Mata Lina makin lindap menatap sebuah papan bertuliskan, TANAH MILIK YAYASAN AL...... Lina bingung, apakah masih ada keluarga yang bisa ditanyai. Lina tahu kalau Mayang, kakaknya sudah menikah, tapi sekedar tahu. Dan tak pernah mencari tahu soal tempat tinggalnya. Bapak juga, tak pernah mau berkumpul dengan keluarga besarnya yang kini entah dimana, entah kenapa. Lina tiba-tiba ingat buku alamat lama dalam kotak besinya. “Boxnya dimana.....” Lina terus membongkar kopornya. Tak peduli pada mata-mata dari tiap orang yang lewat. Agak lama, Lina hanya menemukan beberapa lembar pakaian yang masih seperti kemarin dan secarik kertas maaf yang dibubuhi nama Roy. Lina berdiri lagi. Nanap pada rumahnya, sisa-sisa nama bapaknya, itu sekali lagi. Nanap melihat orang-orang berlalu-lalang. Memperhatikan seorang pemuda mengayuh sepedanya dari arah timur, menikung, melintasi Lina. Meludah begitu saja, semburannya hanya beberapa jengkal dari Lina, mengayuh lagi dan hilang di ujung selatan. Bagian terbesar semburan ludah itu jatuh tepat di tempat yang mustinya dulu adalah panepen4, Lina bergumam, “In the name.....” 090300-280103 -------------------------------------------------------------------------------- 1. Lagu dolanan anak-anak Jawa. Mustinya berbunyi E, dayohe teka. E, beberna klasa. E, klasane bedhah., dan seterusnya yang artinya E, tamunya datang. E, gelarkan tikar. E, tikarnya jebol. E..... 2. Kemben (bhs. Jw.) artinya kain panjang perempuan Jawa. 3. Perasaan antara takut dan segan. 4. Tempat bersamadi bagi rumah-rumah Jawa.